Rabu, 14 Desember 2011

JURNAL EKONOMI PEMBANGUN

                              OPTIMALISASI ZIS DAN PENGHAPUSAN PAJAK:
                    SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEMANDIRIAN EKONOMI
                           MASYARAKAT MISKIN DI ERA OTONOMI DAERAH



   ABSTRACT
Poorness represent the important problems faced by the Indonesian nation, various effort have been conducted by government, but pursued with the fundamental constraint development failure, till factors of moral hazard make the poverty problems always become the new problems. Zakah, infaq, and shadaqah (ZIS) representing the part of  fiscal instrument of Islam, needed in overcome poverty, that is passing gift program special economic incentive (zakat), and extra incentive from infaq and shadaqah as capital of the poor deceiveness through the development in pattern of partner and financing. On the other side, tax as conventional fiscal instrument, up to now still becomes the backbone of APBN in order to prosperity distribution. The aim of this paper is provide the fiscal analysis through the optimize of ZIS and tax abolition in context to rising the economic independence of poor society. Resolving through the optimize of ZIS and tax abolition expected applicable utilize the rising of economic independence of poor society in autonomy era.
Keywords: zakah, poorness, autonomy era, tax, empowerment, welfare.


PENDAHULUAN
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.

Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.

Kesimpulan :


1. Hukum pajak adalah haram. Penghapusan pajak, dapat mendorong terciptanya sumber penerimaan baru, dengan optimalisasi sumberdaya asli yang belum terkelola secara efektif dan efisien.
2. Zakat, infak, shadaqah sebagai instrumen fiskal dalam sistem ekonomi Islam, mempunyai potensi dalam menghentikan permasalahan kemiskinan. Melalui peran kelembagaan, ketiga instrumen yakni  zakat, infak, dan shadaqah dapat dikemas menjadi program pengentasan kemiskinan yang bernilai edukatif, religius, sosial dan kewirausahawan. 98  Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 8, No. 1, Juni 2007
3. Penghapusan pajak, diharapkan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan stabilitas makro ekonomi yang lebih baik, sebagai akibat membaiknya iklim investasi. Selanjutnya penulis memberikan saran
sebagai berikut:

Review Jurnal :


Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan fenomena klasik yang hingga saat ini menjadi perhatian utama negara-negara di dunia. Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan di masing-masing negara hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015 (Putra,
2006).
Dalam konteks menyikapi perkembangan kemiskinan di Indonesia, pakar kemiskinan Gunawan Sumodiningrat menyatakan, pemerintah Indonesia bisa dikatakan hampir berhasil mengatasi kemiskinan. Disebutkan bahwa selama tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin turun drastis dari 54 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk (1976) turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3 persen (1996). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat hingga 23,4 persen pada tahun 1999, yang merupakan akibat dari banyaknya perusahaan atau sentra ekonomi menghentikan kegiatan ekonomi sehingga bertambahnya angka pengangguran. Pada tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37 juta jiwa atau sekitar 19 persen, dan mulai turun pada tahun 2002 menjadi 18,2 persen, dan kembali turun menjadi 17,4 persen di tahun 2003. Namun di akhir tahun 2004 terdapat kecenderungan
jumlah penduduk miskin meningkat mencapai 54 juta jiwa. (Business News, 7 September 2005:3). Dalam Islam dikenal beberapa bentuk insentif bagi perekonomian yang sangat unik bagi masyarakat miskin yaitu zakat, infak dan shadaqah. Zakat bersifat wajib, sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela. Keduanya berperan sebagai instrumen pemerataan pendapatan dalam mencapai perekonomian yang berkeadilan. Sedangkan, dalam fiskal konvensional, pajak hingga kini menjadi masih menjadi tulang punggung APBN dalam menghadapi pengeluaran negara. Keduanya, pajak dan zakat merupakan dua ujung tombak pemerataan pendapatan yang selama ini berjalan di Indonesia. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2005) Berdasar hasil penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, yang menyebutkan potensi zakat, infak, dan shadaqah setiap tahunnya mencapai Rp 19, 3
triliun. Sedangkan berdasar data BAZ nasional dan daerah serta lembaga amil zakat yang sudah dikukuhkan pemerintah pusat maupun daerah jumlahnya kurang dari Rp 300 miliar per tahun. Dan, pajak masih diusahakan terkait dengan tax ratio-nya.

Namun telah dijelaskan terhadap hukum diselenggarakannya pajak, yaitu: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu saling makan harta sesamamu dengan cara yang batil...(Qs. An-Nisa: 29) Dari Abul Khair r.a. beliau berkata: “Maslamah bin makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwaifi’ bin Tsabit r.a., maka ia berkata: “Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak
(diadzab) di neraka. (HR.Ahmad 4/143, Abu Dawud: 2930) (al-Furqon, 39:2006) Berdasarkan hal tersebut penghapusan pajak dan optimalisasi zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) merupakan potensi strategis untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya, yaitu secara lahir dan batin di era otonomi daerah.


Kesimpulan :

Jadi, BAZNAS/LAZ disarankan memiliki data mustahiq yang definisi operasionalnya sesuai dengan keterangan dalam AlQuran dan Al-Hadist, sehingga dapat memutuskan kebijakan yang akurat dan
tepat sasaran. Pemerintah disarankan fokus pada propoor policy (kebijakan yang secara
umum memihak orang miskin. Masyarakat disarankan dapat mendukung dan berpartisipasi aktif dalam program pengentasan kemiskinan BAZ/LAZ. Akademisi disarankan dapat mengkaji dan meneliti lebih komprehensif mengenai zakat, infak, shadaqah dalam penggunaannya sebagai instrumen pengentasan
kemiskinan di Indonesia. Swasta (pengusaha), memberikan kesempatan kerjasama bisnis dengan masyarakat
fakir dan miskin yang diberdayakan,Nama kelompok 2EB10 :
DISTY MEDIAN VANIDAØ 22210099
FACHRURROZYØ 22210469
FERIZAH ARINA MØ 22210742
NIKE APRIANTIØ 24210978
YULIANA EKA PUTRIØ 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481Daftar Referensi :
http://eprints.ums.ac.id/497/1/088-Sofyan.pdf

NAMA KELOMPOK:
1. disty median vanida 22210099
2. fachrurozyo 22210469
3. ferizah arina merzasio22210742
4. nike aprianti 24210978
5. yuliana eka puri 28210752
6. wibisono suprapto 28210481

PERJALANAN PANJANG EKONOMI INDONESIA: DARI ISU GLOBALISASI HINGGA KRISIS EKONOMI


[Artikel - Th. I - No. 3 - Mei 2002]

Hery Nugroho

                                         PERJALANAN PANJANG EKONOMI INDONESIA:
                                      DARI ISU GLOBALISASI HINGGA KRISIS EKONOMI  

 


PENDAHULUAN
Penulis sengaja mengutip kata-kata bijak yang dilontarkan oleh seorang sastrawan dan filsuf termasyhur Amerika berdarah Hispanik, George Santayana, semata-mata karena kalimat bijak itu sangat tepat (precise) untuk menjadi sebuah "peringatan" (warning) bagi bangsa yang tengah berada dalam kesulitan ini.
Bangsa Indonesia, sepanjang sejarahnya telah melalui berbagai pembabakan. Mulai dari era kejayaan Nusantara lama (Sriwijaya dan Majapahit), yang tak lama setelah keruntuhannya segera disambut oleh era kolonialisme yang menyakitkan, sampai dengan era kemerdekaan yang di dalamnya juga telah terisi dengan lembaran-lembaran sejarah perekonomian yang kelam. Sesungguhnya, sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.
Jika suatu bangsa dengan sengaja berani melupakan catatan faktual sejarah, maka bangsa itu tidak akan pernah mencapai kemakmuran dan kecerdasan. Bahkan sangat mungkin akan menjadi sebuah blunder, yang dapat menjerumuskan bangsa itu ke tataran yang lebih hina dari seekor keledai. Bukankah seekor keledai yang bodoh sekalipun tidak pernah terantuk batu yang sama?
SEPINTAS PEMBABAKAN EKONOMI INDONESIA
Berdasarkan pengalaman sejarah, sistem ekonomi pasar selalu mengalami pasang surut yang dapat digambarkan dalam sebuah kurva konjungtur ekonomi. Kurva tersebut terdiri dari beberapa bagian, antara lain: masa pertumbuhan, masa puncak kemakmuran (peak of wealth), masa kemunduran, masa keterpurukan (peak of crises). Setelah krisis dapat teratasi, maka akan disambung dengan masa pemulihan (recovery), pertumbuhan, dan seterusnya hingga membentuk seperti gelombang sinus.
Ditinjau dari periode waktunya, masing-masing babak memiliki durasi yang hampir konsisten, yaitu membentuk siklus waktu yang relatif tidak jauh berbeda antara gelombang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, gabungan dari gelombang-gelombang siklus ekonomi tersebut dapat ditarik menjadi kesimpulan yang dikenal dengan konjungtur perekonomian.
Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia sejak era kemerdekaan sampai sekarang, panjang gelombang tersebut dapat dikategorikan dalam gelombang jangka pendek (tujuh tahunan) dan gelombang jangka panjang (35 tahunan). Gelombang jangka pendek tujuh tahunan dapat diringkas sebagai berikut. 2)
Masing-masing tahap dalam siklus tersebut telah ditandai dengan ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada periode sebelum dan sesudahnya. Misalnya, pada periode Ekonomi Konglomerasi, periode ini dipicu oleh liberalisasi sektor perbankan, yang disusul dengan tumbuhnya imperium usaha konglomerasi yang bermunculan seperti cendawan di musim hujan.
1945 - 1952 Ekonomi Perang
1952 - 1959 Pembangunan Ekonomi Nasional
1959 - 1966 Ekonomi Komando
1966 - 1973 Demokrasi Ekonomi
1973 - 1980 Ekonomi Minyak
1980 - 1987 Ekonomi Keprihatinan
1987 - 1994 Ekonomi Konglomerasi
1994 - 2001 Ekonomi Kerakyatan


Pada periode tersebut ditandai dengan pembangunan ekonomi bersifat sentralistis, rezim penguasa yang otoriter, serta birokrasi yang korup. Pembangunan yang "kebablasan" tersebut akhirnya mengantar bangsa besar ini ke arah periode krisis yang menyakitkan. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari krisis ekonomi adalah tumbuhnya kesadaran akan kekeliruan strategi pembangunan yang dilakukan selama ini. Oleh karena itu, periode ini segera disambung dengan babak baru yang lebih membuka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan ekonominya secara mandiri, dengan didukung oleh iklim dan perhatian negara yang memadai. Era ini dikenal dengan era ekonomi kerakyatan.
Paper pendek ini tidak akan menyorot pembabakan tersebut secara keseluruhan, tetapi hanya akan difokuskan pada dua isu besar yang pernah mengemuka, yaitu isu globalisasi ekonomi dan pembahasan pada periode krisis ekonomi. Dua isu besar ini sangat relevan untuk diangkat, sehubungan dengan besarnya pengaruh yang ditimbulkan bagi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Isu globalisasi telah membuat "kalang kabut" negara-negara berkembang yang tidak memiliki infrastruktur ekonomi yang memadai. Di lain pihak, isu globalisasi ini menjadi semacam "bahan bakar" bagi negara-negara maju untuk meningkatkan ekselerasi pertumbuhan ekonomi dan penetrasi ke pasar internasional.
 
ISU GLOBALISASI
Salah satu refleksi dari kegagapan bangsa Indonesia dalam menyikapi sejarah ekonominya adalah ketika dihadapkan pada isu santer yang dikenal dengan globalisasi, yang di dalamnya terkandung sejumlah obsesi, tantangan, konsekuensi, dan harapan akan kehidupan di masa depan. Globalisasi ekonomi hanya membuat makmur sebagian kecil orang (atau negara) di dunia ini, tetapi lebih banyak orang (bangsa/negara) yang dibuat susah, repot dan capek. Melelahkan. 

3) mubyarto, membangun sistem eknomi. PT BPFE Yogyakarta, 2000, halaman 42

Jika kita mau belajar dari sejarah, globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru dalam kancah panjang ekonomi Indonesia. Jauh hari sebelum muncul nation state, arus perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak lama. Jauh hari sebelumnya, perdagangan regional juga telah membuat interaksi antarsuku bangsa terjadi secara alamiah, natural.
Dua dekade menjelang Perang Dunia I, arus uang internasional telah mempererat ikatan antara negara-negara Eropa dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik. Sementara itu, bank dan investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan portofolionya, dari Argentina terus melingkar Pasifik hingga ke Singapura. Namun demikian, sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia, gelombang globalisasi pun juga mengalami pasang surut. Salah satu kekuatan yang melatarbelakangi adalah adanya tarik-menarik antara paham internasionalisme dengan paham nasionalisme atau bahkan dengan isolasionisme.
Dicermati dari segi intensitas dan cakupannya, sebenarnya gelombang globalisasi yang melanda seluruh dunia sejak dekade 1980-an telah jauh berbeda dari gelombang yang sama pada periode sebelumnya. Proses konvergensi akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, yang tidak saja merambah di segala bidang (ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ideologi), melainkan juga telah menjamah ke dalam tataran sistem, proses, pelaku, dan events. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa prosesnya selalu berjalan dengan mulus. Ada kecenderungan bahwa gelombang globalisasi yang dahsyat menerpa itu ternyata juga disertai dengan fragmentasi. 4)
4) Clark, Ian (1997). Globalization and Fragmentation: International Relations in the Twentieth Century. Oxford & London: Oxford University Press, halaman 1-2.
Dewasa ini, banyak ekonom dan kritisi yang memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah, oleh karena itu terjangan arusnya tak mungkin dapat dibendung lagi. Pandangan semacam ini muncul sebagai reaksi atas pendapat sebagian ekonom yang justru prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan sangat rentan dengan gejolak. Terutama akibat dari arus finansial global yang semakin "liar". Padahal, kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki daya saing (dan daya tahan) yang cukup untuk terlibat langsung dalam kancah lalu-lintas finansial global, yang tak lagi mengenal batas-batas teritorial negara, dan cenderung semakin sulit untuk dikontrol oleh pemerintah sebuah negara yang berdaulat.
Globalisasi juga dikhawatirkan akan memunculkan suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu eksploitasi oleh financial-driven economies terhadap good-producing economies. Kelompok pertama memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya "semu". Artinya, transaksi yang mereka lakukan sebenarnya tidak memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan riil masyarakat. Ini semua terjadi karena "uang" dan "aset finansial" lainnya saling diperdagangkan sebagaimana halnya sebuah komoditas. 5)
5) Michel Chossudovsky, The Globalisation of Poverty: Impacts of IMF and World Bank Reforms. London & New Jersey: Zed Books., 1997, halaman 332
Bagaimanapun juga, sektor finansial tidak pernah terlepas kaitannya dengan sektor riil. Keberadaan sektor finansial, dengan segala bentuk kerumitan instrumen dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya, tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Sehebat dan secanggih apa pun sektor finansial itu, pada intinya mereka tetap merupakan fasilitator bagi eksistensi sektor riil.
Jika dalam kenyataan kini makin nampak bahwa kedua sektor ini telah mengalami lepas kaitan (decoupling), maka masyarakat tinggal menunggu waktu akan datangnya kehancuran peradaban. Atau (minimal) bersiap-siap untuk hidup dalam kegemerlapan artifisial dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi kita untuk sungguh-sungguh mengupayakan terbentuknya suatu tatanan baru, yang menempatkan kembali sektor finansial pada fungsinya yang hakiki. Sayangnya, dewasa ini kita hidup dalam alam realitas yang sudah terlanjur menempatkan uang dan perangkat finansial lainnya sebagai suatu komoditas. Telah banyak negara yang tersungkur dan terseret oleh arus permainan kapitalisme finansial yang berperilaku semakin "buas". Suatu perekonomian yang menapaki tahap demi tahap perkembangan, yang telah ditumbuhkan oleh peluh keringat berjuta-juta rakyatnya, tiba-tiba saja bisa diluluh-lantakkan dalam sekejap dengan cara mengguncang nilai mata uangnya (Lenin=s dictum) hingga tersungkur tanpa kekuatan untuk membela diri. 6)
6) Milton Friedman, Capitalism and Freedom: The Classic statement of Milton Friedman=s Economic Philosophy, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1982, halaman 39.
Sebetulnya, kesadaran akan bahaya kapitalisme dengan sosok seperti sekarang ini sudah mulai tumbuh. Di antaranya justru datang dari kalangan pemikir Barat sendiri, termasuk para pemikir di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. 7) Anehnya, justru kesadaran seperti itulah yang saat ini kurang muncul di negara kita (dan negara berkembang pada umumnya) sehingga secara "sukarela" mereka mau menerjunkan diri ke dalam ajang permainan yang sangat "buas" ini.
7) Jeffrey E. Garten,"Why the Global Economy is Here to Stay." Business Week, March 23, Washington, 1998, halaman 9.
Pemikiran-pemikiran alternatif sebagaimana sudah sangat sering dilontarkan oleh ekonom seperti Prof. Dr. Mubyarto atau juga oleh para "ekonom kontemporer" lain seperti Hartojo Wignjowijoto, atau Prof. Dr. Sritua Arief, nampaknya perlu diwartakan dan ditawarkan kepada masyarakat dunia, untuk benar-benar menciptakan tatanan ekonomi yang lebih sehat. Tentu saja, gagasan bagi terbentuknya tatanan baru itu membutuhkan waktu dan pengkajian yang cermat. Target awal yang paling penting dari semua itu adalah memunculnya kesadaran masyarakat akan rapuh dan rentannya sistem yang berlaku sekarang ini.
Sistem ekonomi yang berlaku sekarang ini nyata-nyata telah mendorong perilaku konsumtif masyarakat dan telah menyeret begitu jauh perekonomian nasional untuk tumbuh secara instant. Hanya negara-negara kaya dengan perangkat kelembagaan ekonomi politik yang mantaplah yang bisa mengeliminasikan dampak-dampak negatif dari gelombang pergerakan finansial global ini.
Negara-negara yang kuat tidak perlu lagi bergelimangan peluh untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mereka cukup melakukan rekayasa finansial yang menghasilkan kemelimpahan dana untuk membeli berbagai macam kebutuhan fisiknya. Sebaliknya, negara-negara yang menghasilkan produk riil (barang) tidak pernah bisa menikmati hasil yang layak. Sebelum peluh mereka mengering, nilai uang riil yang dihasilkan itu telah disedot oleh gejolak kurs dan tercekik oleh tingginya suku bunga. Bukankah hidup di dunia seperti ini sungguh sangat berisiko bagi peradaban umat manusia itu sendiri?
Perilaku ekonomi yang "tidak wajar" seperti itu tidak hanya dilakukan oleh para aktor pasar finansial internasional seperti George Soros, tetapi juga telah meracuni para pelaku bisnis di Indonesia. Hampir semua imperium bisnis di Indonesia telah melakukan beragam rekayasa finansial, sehingga memungkinkan mereka menjelma dalam bentuk gurita konglomerasi secara instant. Langkah mereka semakin mulus setelah disangga oleh sistem politik yang otoriter dan birokrasi yang korup.
 
KRISIS EKONOMI
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi - yang dipicu oleh krisis moneter - beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat "tambal-sulam", ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat "dianak-tirikan", sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.
PENUTUP
Tumbangnya imperium konglomerasi membuat indikasi di atas semakin kuat. Bahwa sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang, menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan cara "habis-habisan" (all out dan at all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.
Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah "gulung tikar" sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi "sekarat" itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.
Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi ekonomi rakyat? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut merasakannya.
Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan. Percayalah

 Review Jurnal


Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi - yang dipicu oleh krisis moneter - beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat "tambal-sulam", ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat "dianak-tirikan", sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.

Kesimpulan :

Jadi, Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan. Percayalah.

Daftar Referensi:
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_4.htm

Nama kelompok 2EB10 :

DISTY MEDIAN VANIDAØ 22210099
FACHRURROZYØ 22210469
FERIZAH ARINA MØ 22210742
NIKE APRIANTIØ 24210978
YULIANA EKA PUTRIØ 28210752
WIBISONO SUPRAPTO 28210481


Senin, 14 November 2011

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI


Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN
22 Februari 2008
KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan privat dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena menurut Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga bersifat makro, obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal, birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya. Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions) di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik, sehingga mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state” adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.

CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies) sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang membedakan (differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential advantage. Berikut penjelasannya:
…are all converging on similar and formidable standards for product cost and quality – minimum hurdles for continued competition, but less and less important as sources of differential advantage.
Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan:
Management ability to consolidate corporatewide technologies and production skills into competencies that empower individual business to adapt quickly to changing opportunities.

Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah, diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan “collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams of technology” dan “decisively in services”.

PEMBAHASAN: INTERAKSI REALITAS SINKRONIS-DIAKRONIS
Penelusuran substansi konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis dan melakukan sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis pikiran ekonomi koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra kemerdekaan sampai kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta menjadi Wapres). Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis beberapa aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi diakronis dan sinkronis dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus substansi konsep koperasi.
Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang (Masngudi 1990; Tambunan 2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut Masngudi (1990) mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Mulai dari kegiatan simpan-pinjam, penyediaan barang-barang konsumsi, penyediaan barang-barang keperluan produksi.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja (1896), mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Sarekat Islam lebih konkrit lagi mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka took-toko koperasi. Berkembang pula di awal-awal koperasi Syirkatul Inan milik NU tahun 1918 di Jombang. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana berdasarkan keputusan kongres 1929 bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan perkoperasian Indonesia masa itu menyatu dengan kekuatan sosial politik sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan cenderung menghalangi atau menghambat perkembangan koperasi. Bentuknya yaitu tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915,.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah waktu itu menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian. Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya. Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi III di Jakarta. Keputusan Kongres di samping berkaitan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dekopin dengan ICA.
Pada tahun 1958 diterbitkan UU tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958. UU ini disusun dalam suasana UUDS 1950 dan mulai berlaku tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih baik dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
Penelusuran Sinkronis Realitas Empiris Masyarakat Koperasi Indonesia
Aplikasi diakronis terekam dalam practice realitas field sinkronis masyarakat koperasi Indonesia. Realitas koperasi saat ini ternyata memunculkan pemahaman koperasi yang bias.
Bahwa koperasi sekarang sudah sedemikian rupa terkooptasi oleh program manja dari pemerintah. Artinya, mereka hanya berharap bahwa dengan ikut koperasi itu ya dapat uang, dapat pinjaman, dapat modal. Hal itu dapat dilihat dari pengembangan koperasi saat ini. Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi Simpan Pinjam maupun BMT, serta koperasi karyawan dengan model swalayan atau retail.
Masyarakat kita sekarang masih diproyeksikan pada tataran itu. Tetapi ketika diupayakan menjadi lebih berorientasi produktif, koperasi malah merasa belum siap. Padahal sumber daya alam Indonesia penuh dengan sumber daya untuk memajukan tradisi produktif. Apalagi bila mau dikembangkan ke arah produktif. Hal tersebut sangat sulit dikembangkan.
Pemerintah dan instansi tetap perlu berperan sebagai supporting movement. Keberadaan perusahaan pun sebenarnya bukan mengkreasi koperasi menjadi subordinat. Perlu adanya kesetaraan. Di samping itu yang menarik adalah membentuk karakter kekeluargaan dan pemberdayaan dari bawah/kontekstual. Diperlukan penggalian lebih jauh konsep kekeluargaan dan pemberdayaan koperasi berbasis ekonomi rakyat.
5.3. Sinergi Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa kemerdekaan terlihat bahwa habitus masyarakat Indonesia dalam mengembangkan (practice) koperasi (field) didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital). Memang perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan kebutuhan modal anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi di Purwokerto sampai dibentuknya koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI, dan lainnya. Meskipun koperasi intermediasi seperti ini akhirnya tidak berjalan lama.
Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan koperasi mulai mengarah kepentingan produktif. Misalnya gerakan koperasi fenomenal Muhammadiyah berkenaan produksi batik. Bahkan gerakan koperasi produktif sangat kuat dan bertahan lebih lama dari gerakan intermediasi, karena memiliki kemampuan beradaptasi. Inilah yang disebut oleh Prahalad dan Hamel (1990) sebagai core competencies. Hanya perbedaannya, kompetensi inti versi Prahalad dan Hamel (1990) berorientasi pada kepentingan individual, sedangkan kompetensi inti koperasi Muhammadiyah lebih berorientasi pada karakter koperasi Indonesianis, yaitu kekeluargaan.
Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh. Bila dirujuk pada konsep bisnis core competencies, maka kondisi koperasi sekarang telah kehilangan sense untuk mengembangkan core competencies, dan hanya dapat mengembangkan core product saja. Itupun yang disebut dengan produk telah jauh tereduksi pada model intermediasi dan retail saja. Sedangkan substansi dari core product yang lebih mengutamakan inovasi teknologi dan orientasi produk teralienasi secara gradual dan menurun.
Menjadi benar ungkapan Bourdieu bahwa setiap manusia dan realitas sosial dipengaruhi oleh habitus. Ketika tesis Arif (1995) benar bahwa masyarakat Indonesia telah terkooptasi secara “turun-temurun” oleh budaya cultuurstelsel Belanda selama 350 tahun, maka menjadi logislah kita semua masih senang didominasi oleh gerakan “tanam paksa” Neoliberal. Cultuurstelsel telah menjadi habitus rakyat Indonesia lewat doxa kapitalisme, Neoliberalisme Ekonomi. Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa. Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi Usaha Besar.
Pesona statistik menurut Ismangil dan Priono (2006) tentu tak bisa dijadikan patokan tunggal. Fakta memang menyebutkan perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan negara manapun di dunia. Jika di negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar kuat tak sedikit yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat di negeri ini. Mengacu pada data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia empat tahun terakhir, dari semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi lebih dari 123 ribu unit pada 2005 (Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006). Hanya dalam tempo tiga tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak cendawan di musim hujan. Ini juga bisa diartikan bahwa animo masyarakat masih terus meningkat dari masyarakat untuk menghidupkan perekonomian mereka melalui koperasi.
Tetapi kenyataannya, kita, lanjut Islamingi dan Priono (2006) juga harus berlapang dada menerima kenyataan, bahwa dibandingkan BUMN dan swasta, koperasi belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian nasional. Sumbangan yang sangat kecil terhadap produk domestik bruto (PDB) memperlihatkan wajah lain dari perkembangan koperasi di Indonesia. Belum suksesnya Indonesia dalam mengembangkan perekonomian di tingkat pedesaaan yang mengakibatkan tidak berkembangnya ekonomi rakyat, merupakan akibat kurang optimalnya pengembangan wadah koperasi sebagai penopang perekonomian nasional. Koperasi masih diposisikan dalam zona sub sistem-bagian dari sistem-swasta dan BUMN, dengan kedudukan yang tidak sederajad. Karena berada dalam posisi sub sistem, koperasi di Indonesia kurang optimal dalam membangun jaringan koperasi (coop-network) yang memadai, akibatnya banyak keuntungan-keuntungan ekonomis yang terserap swasta dan BUMN.
Indikasi doxa dan symbolic violence juga dapat muncul dari Visi Membangun Koperasi Berkualitas. Maka diingatkan oleh Sularso (2006) bahwa jika 70,000 koperasi berkualitas ingin diwujudkan, perlu dilakukan intervensi agar jumlah koperasi berkualitas terdongkrak mencapai jumlah yang dikehendaki. Intervensi dilakukan dengan memfasilitasi koperasi-koperasi yang mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitasnya. Tetapi jika intervensi tersebut tidak tersambut dengan potensi internal yang tumbuh, maka tidak akan bermanfaat dan akan merusak koperasi. Umumnya intervensi pemerintah mengandung bahaya, menjadikan koperasi tergantung dan kehilangan keswadayaan dan otonominya. Atau melakukan rekayasa pernilaian dengan menurunkan kadar kriterianya sehingga lebih banyak koperasi yang bisa masuk kategori berkualitas. Intervensi pemerintah belum tentu dapat menumbuhkan potensi internal koperasi dan rekayasa kriteria klasifikasi hanya akan menghasilkan klasifikasi koperasi yang kualitasnya dibawah standar. Koperasi- nya sendiri tidak bergerak untuk meningkatkan kualitasnya.
Lebih lanjut Sularso (2006) menjelaskan umumnya pencapaian target pengembangan koperasi dilakukan dengan pendekatan formalistik, kurang memperhatikan substansi koperasi berkualitas. Untuk menghindari formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.
Bahkan kecenderungan gerak koperasi sekarang juga kembali ke logika awal pergerakan koperasi di masa koperasi dikenalkan di Indonesia, fungsi intermediasi. Hal ini terlihat dari makin menjamurnya Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam. Perkembangan yang juga membesar juga bentuk Koperasi Serba Usaha, yang bergerak di bidang retail. Kebalikannya, koperasi produktif meskipun secara sporadis banyak memiliki keanggotan, omzet dan aset besar, tetapi kecenderungan terus menurun.

REVIEW JURNAL:
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI BISNIS KOPERASI
Oleh :Aji Dedi Mulawarman
1.Pendahuluan
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi,. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.
Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hampir seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas negara-negara.
Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme.
Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa liberalisme. Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?

2. Ringkasan yang kami dapat dari jurnal tersebut adalah:
- Bahwa Koperasi Indonesia pada saat ini telah dirasuki dengan sistem Neoliberalisme, bahkan sistem ini telah merasuk keseluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham Liberal ini lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere. Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan.
- Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara.
- Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
- Perubahan situasi di masa orde baru dan reformasi, memunculkan mekanisme baru pemberdayaan, yaitu intervensi terus menerus terhadap koperasi. Mekanisme seperti ini telah menghilangkan core competencies koperasi (yang seharusnya mandiri, otonom, berkembang dari bawah, dijalankan secara kekeluargaan, memiliki sinergi dan keseimbangan bisnis produktif-intermediasi-retail) menjadi tereduksi terlalu jauh.
- Ekonomi Rakyat sebagai idealisme telah tergerus pula oleh doxa Neoliberalisme Ekonomi. Neoliberalisme Ekonomi bahkan telah menjadi (dikatakan Bourdieu) sebagai symbolic violence, yaitu kejahatan simbolis dari doxa. Bentuk konkrit habitus cultuurstelsel, mewujud dalam peran Usaha Besar menjadi pusat kendali dari trickle down effect pada bursa efek, mega-industri sampai oligopoli pasar nasional. Sedangkan koperasi hanyalah menjadi tiang penopang ekonomi (dan sesungguhnya pula hanya sebagai pelengkap penderita) berbentuk subordinasi bagi Usaha Besar.
- Untuk menghindari formalisme dalam membangun koperasi berkualitas, seharusnya mempertimbangkan substansi koperasi berkualitas, yaitu konsistensi terhadap nilai, prinsip dan tujuan koperasi, konsistensi terhadap fungsi dan peran koperasi, partisipasi anggota dan keputusan demokratik, pengelolaan berdasar good corporate governance, dan pertumbuhan berkelanjutan.

3. KESIMPULAN
Jadi Kesimpulan yang dapat kami buat yaitu:
- Dalam pengembangan koperasi ada beberapa substansi yang sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang unik yaitu konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail.
- Menemukan bentuk konkrit kompetensi inti kekeluargaan.
- Kita perlu merancang pemberdayaan koperasi yang lebih mandiri untuk beberapa tahun ke depan.
- Kenyataan program-program bersifat pembiayaan, akses perbankan, aspek teknologi dan segala hal tersebut masih berkaitan dengan materi; pemberdayaan, profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya masih berkaitan dengan anthropocentric oriented.
- Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.

4. Referensi Jurnal :
•http://ajidedim.wordpress.com/2008/01/20/mengembangkan-konsep-bisnis-koperasi-digali-dari-realitas-masyarakat-indonesia/

Nama kelompok 2EB10 :
 DISTY MEDIAN VANIDA 22210099
 FACHRURROZY 22210469
 FERIZAH ARINA M 22210742
 NIKE APRIANTI 24210978
 YULIANA EKA PUTRI 28210752
 WIBISONO SUPRAPTO 28210481